Sejarah Ki Ageng Selo( SYEIH ABDURROHMAN)
Makam Ki Ageng Selo teletak di Desa
Selo, Kecamatan Tawangharjo 10 km sebelah timur kota Purwodadi, Kabupaten
Grobogan sebagai obyek wisata spiritual, makam Ki Ageng Selo ini sangat ramai
dikunjungi oleh para peziarah pada malam jum'at, dengan tujuan untuk mencari
berkah agar permohonannya dikabulkan oleh Tuhan YME. Ki Ageng Selo sendiri
menurut cerita yang berkembang di masyarakat sekitar khususnya atau masyarakat
jawa umumnya, diakui memiliki kesaktian yang sangat luar biasa sampai-sampai
dengan kesaktiannya ia dapat menangkap petir.
Ki Ageng Selo dipercaya oleh
masyarakat jawa sebagai cikal bakal yang menurunkan raja-raja di tanah Jawa.
Bahkan pemujaan kepada makam Ki Ageng Selo sampai sekarang masih ditradisikan
oleh raja-raja Surakarta dan Yogyakarta. Sebelum Gerebeg Mulud, utusan dari
Surakarta datang ke makam Ki Ageng Selo untuk mengambil api abadi yang selalu
menyala di dalam makam tersebut. Begitu pula tradisi yang dilakukan oleh
raja-raja Yogyakarta. Api dari sela dianggap sebagai api keramat.
Legenda dari Makam Ki Ageng Selo :
Cerita Ki Ageng Sela merupakan
cerita legendaris. Tokoh ini dianggap sebagai penurun raja-raja Mataram,
Surakarta dan Yogyakarta sampai sekarang. Ki Ageng Sela atau Kyai Ageng
Ngabdurahman Sela, dimana sekarang makamnya terdapat di Desa Sela, Kecamatan
Tawangharjo, Kabupaten Grobogan, adalah tokoh legendaris yang cukup dikenal
oleh masyarakat Daerah Grobogan, namun belum banyak diketahui tentang
sejarahnya yang sebenarnya. Dalam cerita tersebut dia lebih dikenal sebagai
tokoh sakti yang mampu menangkap halilintar (bledheg).
Menurut cerita dalam babad tanah
Jawi (Meinama, 1905; Al - thoff, 1941), Ki Ageng Sela adalah keturunan
Majapahit. Raja Majapahit : Prabu Brawijaya terakhir beristri putri Wandan
kuning. Dari putri ini lahir seorang anak laki-laki yang dinamakan Bondan
Kejawan. Karena menurut ramalan ahli nujum anak ini akan membunuh ayahnya, maka
oleh raja, Bondan Kejawan dititipkan kepada juru sabin raja : Ki Buyut Masharar
setelah dewasa oleh raja diberikan kepada Ki Ageng Tarub untuk berguru agama
Islam dan ilmu kesaktian.
Oleh Ki Ageng Tarub, namanya diubah
menjadi Lembu Peteng. Dia dikawinkan dengan putri Ki Ageng Tarub yang bernama
Dewi Nawangsih, dari ibu Bidadari Dewi Nawang Wulan. Ki Ageng Tarub atau Kidang
Telangkas tidak lama meninggal dunia, dan Lembu Peteng menggantikan kedudukan
mertuanya, dengan nama Ki Ageng Tarub II. Dari perkawinan antara Lembu Peteng
dengan Nawangsih melahirkan anak Ki Getas Pendowo dan seorang putri yang kawin
dengan Ki Ageng Ngerang. Ki Ageng Getas Pandowo berputra tujuh orang yaitu : Ki
Ageng Sela, Nyai Ageng Pakis, Nyai Ageng Purna, Nyai Ageng Kare, Nyai Ageng
Wanglu, Nyai Ageng Bokong, Nyai Ageng Adibaya.
Kesukaan Ki Ageng Sela adalah
bertapa dihutan, gua, dan gunung sambil bertani menggarap sawah. Dia tidak
mementingkan harta dunia. Hasil sawahnya dibagi - bagikan kepada tetangganya
yang membutuhkan agar hidup berkecukupan. Bahkan akhirnya Ki Ageng Sela
mendirikan perguruan Islam. Muridnya banyak, datang dari berbagai penjuru
daerah. Salah satu muridnya adalah Mas Karebet calon Sultan Pajang Hadiwijaya.
Dalam tapanya itu Ki Ageng selalu memohon kepada Tuhan agar dia dapat
menurunkan raja-raja besar yang menguasai seluruh Jawa.
Kala semanten Ki Ageng sampun pitung
dinten pitung dalu wonten gubug pagagan saler wetaning Tarub, ing wana Renceh.
Ing wanci dalu Ki Ageng sare wonten ing ngriku, Ki Jaka Tingkir (Mas Karebet)
tilem wonten ing dagan. Ki Ageng Sela dhateng wana nyangking kudhi, badhe
babad. Kathinggal salebeting supeno Ki Jaka Tingkir sampun wonten ing Wana,
Sastra sakhatahing kekajengan sampun sami rebah, kaseredan dhateng Ki Jaka
Tingkir. (Altholif : 35 - 36).
Impian tersebut mengandung makna
bahwa usaha Ki Ageng Sela untuk dapat menurunkan raja-raja besar sudah di
dahului oleh Jaka Tingkir atau Mas Karebet, Sultan Pajang pertama. Ki Ageng
kecewa, namun akhirnya hatinya berserah kepada kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa.
Hanya kemudian kepada Jaka tingkir, Ki Ageng sela berkata : Nanging thole, ing
buri turunku kena nyambungi ing wahyumu (Dirdjosubroto, 131; Altholif: 36 ).
Suatu ketika Ki Ageng Sela ingin
melamar menjadi prajurit Tamtama di Demak. Syaratnya dia harus mau diuji dahulu
dengan diadu dengan banteng liar. Ki Ageng Sela dapat membunuh banteng
tersebut, tetapi dia takut kena percikan darahnya. Akibatnya lamarannya
ditolak, sebab seorang prajurit tidak boleh takut melihat darah. Karena sakit
hati maka Ki Ageng mengamuk, tetapi kalah dan kembali ke desanya, Sela.
Ki Ageng Sela menangkap “ bledheg “
cerita tutur dalam babad :
Ketika Sultan Demak : Trenggana
masih hidup pada suatu hari Ki Ageng Sela pergi ke sawah. Hari itu sangat
mendung, pertanda hari akan hujan. Tidak lama memang benar-benar hujan lebat
turun. Halilintar menyambar. Tetapi Ki Ageng Sela tetap enak-enak menyangkul,
baru sebentar dia mencangkul, datanglah “bledheg“ itu menyambar Ki Ageng,
berwujud seorang kakek-kakek. Kakek itu cepat-cepat ditangkapnya, kemudian
diikat dipohon gandri, dan dia meneruskan mencangkul sawahnya. Setelah cukup,
dia pulang dan “ bledheg “ itu dibawa pulang dan dihaturkan kepada Sultan
demak.
Oleh Sultan “bledheg“ itu ditaruh
didalam jeruji besi yang kuat dan ditaruh ditengah alun-alun. Banyak orang yang
berdatangan untuk melihat ujud “bledheg“ itu. Ketika itu datanglah seorang
nenek-nenek dengan membawa air kendi. Air itu diberikan kepada kakek “ bledheg“
dan diminumnya. Setelah minum terdengarlah menggelegar memekakkan telinga.
Bersamaan dengan itu lenyaplah kakek dan nenek “bledheg” tersebut, sedang
jeruji besi tempat mengurung kakek “bledheg” hancur berantakan.
Kemudian suatu ketika Ki Ageng
nanggap wayang kulit dengan dhalang Ki Bicak. Istri Ki Bicak sangat cantik. Ki
Ageng jatuh cinta pada Nyai Bicak. Maka untuk dapat memperistri Nyai Bicak,
Kyai Bicak dibunuhnya. Wayang Bende dan Nyai Bicak diambilnya, “Bende“ tersebut
kemudian diberi nama Kyai Bicak, yang kemudian menjadi pusaka Kerajaan Mataram.
Bila “Bende“ tersebut dipukul dan suaranya menggema, bertanda perangnya akan menang
tetapi kalau dipukul tidak berbunyi pertanda perangnya akan kalah.
Peristiwa lain lagi : Pada suatu
hari Ki Ageng Sela sedang menggendong anaknya di tengah tanaman waluh dihalaman
rumahnya. Datanglah orang mengamuk kepadanya. Orang itu dapat dibunuhnya,
tetapi dia “kesrimpet“ batang waluh dan jatuh telentang, sehingga kainnya lepas
dan dia menjadi telanjang. Oleh peristiwa tersebut maka Ki Ageng Sela
menjatuhkan umpatan, bahwa anak turunnya dilarang menanam waluh di halaman
rumah memakai kain cinde .
… Saha lajeng dhawahaken prapasa,
benjeng ing saturun - turunipun sampun nganthos wonten ingkang nyamping cindhe
serta nanem waluh serta dhahar wohipun. ( Dirdjosubroto : 1928 : 152 – 153 ).
Dalam hidup berkeluarga Ki Ageng
Sela mempunyai putra tujuh orang yaitu : Nyai Ageng Lurung Tengah, Nyai Ageng
Saba (Wanasaba), Nyai Ageng Basri, Nyai Ageng Jati, Nyai Ageng Patanen, Nyai
Ageng Pakis Dadu, dan bungsunya putra laki - laki bernama Kyai Ageng Enis. Kyai
Ageng Enis berputra Kyai Ageng Pamanahan yang kawin dengan putri sulung Kyai
Ageng Saba, dan melahirkan Mas Ngabehi Loring Pasar atau Sutawijaya, pendiri
Kerajaan Mataram. Adik Nyai Ageng Pamanahan bernama Ki Juru Martani. Ki Ageng
Enis juga mengambil anak angkat bernama Ki Panjawi. Mereka bertiga dipersaudarakan
dan bersama - sama berguru kepada Sunan Kalijaga bersama dengan Sultan Pajang
Hadiwijaya (Jaka Tingkir). Atas kehendak Sultan Pajang, Ki Ageng Enis diminta
bertempat tinggal didusun lawiyan, maka kemudian terkenal dengan sebutan Ki
Ageng Lawiyan. Ketika dia meninggal juga dimakamkan di desa Lawiyan. (M.
Atmodarminto, 1955: 1222).
Dari cerita diatas bahwa Ki Ageng
Sela adalah nenek moyang raja-raja Mataram Surakarta dan Yogyakarta. Bahkan
pemujaan kepada makam Ki Ageng Sela sampai sekarang masih ditradisikan oleh
raja-raja Surakarta dan Yogyakarta tersebut. Sebelum Garabeo Mulud, utusan dari
Surakarta datang ke makam Ki Ageng Sela untuk mengambil api abadi yang selalu
menyala didalam makam tersebut. Begitu pula tradisi yang dilakukan oleh
raja-raja Yogyakarta Api dari Sela dianggap sebagai keramat.
Bahkan dikatakan bahwa dahulu
pengambilan api dilakukan dengan memakai arak-arakan, agar setiap pangeran juga
dapat mengambil api itu dan dinyalakan ditempat pemujaan di rumah
masing-masing. Menurut Shrieke (II : 53), api sela itu sesungguhnya
mencerminkan “asas kekuasaan bersinar”. Bahkan data-data dari sumber babad
mengatakan bahkan kekuasaan sinar itu merupakan lambang kekuasaan raja-raja
didunia. Bayi Ken Arok bersinar, pusat Ken Dedes bersinar; perpindahan
kekuasaan dari Majapahit ke Demak diwujudkan karena adanya perpindahan sinar;
adanya wahyu kraton juga diwujudkan dalam bentuk sinar cemerlang.
Dari pandangan tersebut, api sela
mungkin untuk bukti penguat bahwa di desa Sela terdapat pusat Kerajaan Medang
Kamulan yang tetap misterius itu. Di Daerah itu Reffles masih menemukan
sisa-sisa bekas kraton tua (Reffles, 1817 : 5). Peninggalan itu terdapat di
daerah distrik Wirasaba yang berupa bangunan Sitihinggil. Peninggalan lain
terdapat di daerah Purwodadi.
Sebutan “ Sela “ mungkin berkaitan
dengan adanya “ bukit berapi yang berlumpur, sumber-sumber garam dan api abadi
yang keluar dari dalam bumi yang banyak terdapat di daerah Grobogan tersebut.
Ketika daerah kerajaan dalam keadaan
perang Diponegoro, Sunan dan Sultan mengadakan perjanjian tanggal 27 September
1830 yang menetapkan bahwa makam-makam keramat di desa Sela daerah Sukawati,
akan tetap menjadi milik kedua raja itu. Untuk pemeliharaan makam tersebut akan
ditunjuk dua belas jung tanah kepada Sultan Yogyakarta di sekitar makam
tersebut untuk pemeliharaannya. (Graaf, 3,1985 : II). Daerah enclave sela
dihapuskan pada 14 Januari 1902. Tetapi makam-makam berikut masjid dan rumah
juru kunci yang dipelihara atas biaya rata-rata tidak termasuk pembelian oleh
Pemerintah.
Ki Ageng Selo, Sang Penakluk
Kilat/Petir
KEHEBATAN Ki Ageng Selo tak asing
lagi bagi penduduk sekitar. Bahkan tersohor hingga ke berbagai negeri. Banyak
ora…ng datang padanya dengan berbagai tujuan. Ada yang ingin berguru, ada pula
yang datang sekadar untuk minta doa atau disembuhkan dari penyakit yang
dideritanya. Kesaktian Ki Ageng Selo tak hanya sampai di situ. Ia pun dapat
menangkap kilat yang menyambar-nyambar saat hujan tengah membasahi bumi. Dialah
manusia yang ditakuti kilat.
Suatu hari, Ki Ageng Selo sedang
asyik duduk di masjid sambil bermunajad. Tangannya memutar-mutar tasbih dan
mulutnya tak henti-henti berdzikir. Sementara itu, di luar hujan mengguyur bumi
dengan derasnya. Suasana itu tidak mengganggu kekhusyukan Ki Ageng Selo sama
sekali. Bahkan, ia semakin khusyuk. Suara hujan menjadi irama tersendiri dalam
hatinya untuk menyenandungkan nama-nama Ilahi.
Namun keadaan menjadi lain ketika
kilat datang. Menyambar-nyambar di atas kubah masjid. Penduduk desa takut
karenanya. Ki Ageng Selo sejenak membiarkannya. Mungkin hanya sebentar saja
mengganggu, batinnya. Semakin dibiarkan, semakin kencang dan sering pula kilat
itu menyambar-nyambar. Suaranya menggelegar, memekakkan telinga, membuat
anak-anak meringkuk di atas kasurnya, dalam pelukan ibunya. Sementara
orang-orang dewasa tak meneruskan pekerjaannya.
Di dalam masjid, Ki Ageng Selo
mencoba tetap berkonsentrasi pada dzikirnya. Tetap khusyuk pada wiridnya.
Tiba-tiba di luar masjid penduduk
desa berteriak-teriak. Tingkah kilat makin menjadi-jadi. Beberapa pohon tumbang
disambarnya. Beberapa rumah roboh ikut terbakar. Mendengar kegaduhan itu, Ki
Ageng Selo tak lagi bisa konsentrasi dan khusyuk berdzikir. Maka keluarlah Ki
Ageng Selo.
Begitu Ki Ageng Selo sampai di
ambang masjid, penduduk desa sudah menyambutnya dengan berbagai keluhan agar Ki
Ageng Selo mau menolong mereka.
“Rumah saya, Ki. Sudah terbakar
gara-gara kilat itu,” kata salah seorang penduduk.
“Rumah saya juga, hancur karena
pohon di depan rumah tumbang gara-gara disambar kilat jahat itu,” kata yang
lainnya.
“Lihatlah anak saya, Ki. Kakinya
patah terkena reruntuhan rumah,”
Ki Ageng Selo tak banyak bicara. Ia
memandangi satu-persatu wajah penduduk yang menyiratkan kesedihan sebab
kehilangan harta bendanya.
“Masuklah kalian ke dalam masjid,”
suruh Ki Ageng Selo kepada penduduk desa. “Jangan lupa cuci kaki kalian dulu.”
Lanjutnya memperingatkan.
Perlahan kaki Ki Ageng Selo
melangkah menuruni anak tangga masjid. Sebelum sampai ke tanah, ia berhenti
sejenak. Matanya terpejam, bibirnya bergerak-gerak tanda memanjatkan doa.
Setelah selesai dengan ritual kecil
tersebut, Ki Ageng Selo lantas melangkahkan kaki dengan mantap.
Aneh! Kata penduduk desa. Hujan yang
begitu derasnya, tanpa payung tanpa topi, sama sekali tak membasahi baju Ki
Ageng Selo, sedikit pun. Mata penduduk desa terheran-heran menyaksikan kejadian
di depan mereka. Mereka tak pernah menyaksikan hal itu sebelumnya.
Langkah kaki terus semakin mantap.
Langkah yang aneh. Tak seperti manusia biasa. Tapi ia memang manusia. Manusia
yang dikasihi Tuhan. Manusia yang dekat dengan Tuhan.
Langkah aneh itu lama kelaman tidak
menyentah tanah. Kaki tetap melangkah tapi tanpa berpijak pada tanah. Hanya
angin yang menopang langkahnya menuju lapangan besar di depan masjid,
orang-orang menyebutnya alun-alun.
Sampai di tengah alun-alun, Ki Ageng
Selo berhenti, tak berbuat apa-apa. Diam. Hanya menyilangkan tangannya di depan
dadanya. Sejenak ia menundukkan kepalanya, mungkin berdoa lagi. Lantas
mendongakkan kepalanya ke atas langit. Masih diam. Tapi matanya nanar menatap
langit.
Ketakutan penduduk desa semakin
menjadi-jadi. Kejadian langkah seperti tak pernah mereka saksikan. Yang
laki-laki menatap dengan tatapan yang mengherankan pada orang yang mereka
kagumi itu di tengah alun-alun, yang perempuan mendekap anaknya yang ketakutan.
Semua penduduk merapatkan barisan.
Sang kepala desa berdiri di
tengah-tengah penduduk desa.
“Saudara-saudara semua, mari kita
panjatkan doa kepada Tuhan sebisa mungkin, agar Ki Ageng Selo selamat dan dapat
menghentikan bencana ini.”
“Ya. Mari…” sambut penduduk.
Mulut semua penduduk lantas
berkomat-kamit. Tak banyak dari penduduk yang tak hafal doa, bahkan ada yang
tidak bisa sama sekali. Tapi mereka berupaya semampu mereka. Mengeja apa yang
mereka tahu sebagai doa.
Sementara itu, di atas alun-alun
depan masjid, suara guntur dan sambaran kilat makin menjadi-jadi. Langit makin
gelap. Mendung berputar-putar melingkar di atas alun-alun.
Seketika mulut penduduk desa
menjerit. Sekelebat cahaya penuh amarah menyambar Ki Ageng Selo yang berada di
tengah-tengah lapangan. Semuanya menutup mata dan menyembunyikan wajah, seolah
takut menerima kenyataan.
“Masyaallah. Astaghfirullah.” seru
salah seorang penduduk yang mengagetkan penduduk lainnya.
Bukan kelegaan yang mereka lihat.
Tapi justru ketegangan semakin memompa darah. Tak disangka-sangka, kilat yang
selama ini ditakuti manusia, sekarang berada di tangan Ki Ageng Selo. Sungguh
pemandangan yang mengagumkan. Lantas terjadi dialog di antara keduanya.
“Wahai, Kilat. Berhentilah
mengganggu penduduk sekitar.” Kata Ki Ageng Selo kepada kilat yang berada di
tangannya.
“Baiklah. Aku tidak akan mengganggu
penduduk lagi, juga beserta anak-cucumu.” Jawab Kilat.
Lega juga hati penduduk desa.
Selesai juga peristiwa menegangkan itu. Penduduk desa menyambut Ki Ageng Selo
penuh rasa haru dan menyalami tangannya dengan mencium tangannya.
Besoknya para penduduk membuat
gambar kilat yang pada kayu berbentuk ukiran sebesar pintu masjid. Lantas
mereka menyerahkannya kepada Ki Ageng Selo. Dengan senang hati Ki Ageng Selo
menerimanya dan dipasang di pintu depan masjid Demak. Dan masih bisa dilihat
hingga sekarang.
Sejak saat itu kilat tak lagi
membuat kacau dan mengganggu penduduk. Hanya sesekali bersuara di atas desa itu.
Penduduk desa semakin rajin menunaikan ibadah di masjid dan menghentikan
pekerjaan mereka ketika adzan berkumandang.
Selain itu, ketika hujan dan kilat
datang, anak-anak dan penduduk desa tak lagi takut. Jika ada kilat yang
menyambar, mereka akan mengatakan dengan tenang, “Aku cucunya Ki Ageng Selo.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar