HANYA 50.000 / BULAN

Rabu, 13 Januari 2016

BIOGRAFI MBAH MANGLI

Bagi orang Jawa Tengah, khususnya daerah Magelang dan sekitarnya, nama KH Hasan Asy’ari atau mbah Mangli hampir pasti langsung mengingatkan pada sosok kyai sederhana, penuh karomah.

Menurut almarhum Wali Allah Gus Miek, walau Mbah Mangli memiliki banyak usaha dan termasuk orang yang kaya-raya, namun Mbah Mangli adalah wali Allah yang hatinya selalu menangis kepada Allah, menangis melihat umat dan menangis karena rindu kepada Allah.

KH Hasan Asy’ari/Mbah Mangli adalah mursyid Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah (TQN). Mbah Mangli adalah salah satu tokoh yang mendirikan Asrama Pendidikan Islam di Magelang yang santrinya berasal dari seluruh Indonesia.

Meski terkenal di mana-mana, beliau selalu hidup sederhana. Beliau sering diundang ke sana ke mari untuk mengisi pengajian. Pada saat mengisi pengajian, di mana pun ia dan dalam kondisi apa pun, Mbah Mungli tidak pernah memakai alat pengeras suara, meskipun jamaahnya sangat banyak, hingga berbaris dengan jarak jauh. Namun, masyarakat tetap sangat menyukai isi pidatonya dan mendengar suara beliau.

Kadang panitia sengaja menyelipkan amplop uang kepada Mbah Mangli, namun beliau dengan halus menolaknya, dan biasanya beliau mengatakan: "Jika separoh dari jamaah yang hadir tadi mau dan berkenan menjalankan apa yang saya sampaikan tadi, itu jauh lebih bernilai dari apapun, jadi mohon jangan dinilai dakwah saya ini dengan uang, kalau tuan mau antar saya pulang saya terima, kalau kesulitan ya gak papa saya bisa pulang sendiri"

Mbah Mangli dikaruniai karomah "melipat bumi" yakni bisa datang dan pergi ke berbagai tempat yang jauh dalam sekejap mata. Di sisi lain, beliau dikenal sebagai seorang yang memiliki kemampuan psikokinesis tinggi. Misal, dia dapat mengetahui tamu yang akan datang beserta maksud dan tujuannya.

 Seperti orang yang bermaksud untuk makan jeruk bersilaturrahim pada rumah Mangli. Dia menyambut dengan memberikan jeruk. salah satu wejangannya adalah: "apik ning menungsa, durung mesthi apik ning Gusti"





Langgar Linggan



Bangunan itu sederhana saja. Ukurannya tidak terlalu besar, tetapi tampak demikian kokoh dan bersih terawat baik. Di sekelilingnya terdapat banyak pepohonan rindang, sehingga membuat suasana terasa sejuk dan nyaman.

Warga menyebutnya Langgar Linggan. Lokasinya dekat pemukiman penduduk Desa Mejing, Kecamatan Candimulyo, Kabupaten Magelang. Tepatnya di atas tanah wakaf dari KH Khadis, tokoh ulama terkemuka di Mejing, pada dekade 1960-1970. Pada tahun 1970-an, mushala ini menjadi saksi sejarah syiar agama Islam yang pernah dilakukan oleh KH Hasan Asy’ari, atau lebih beken dengan sebutan Mbah Mangli dari lereng Gunung Andong wilayah Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Magelang.

Pengajian rutin yang diisi ceramah keagamaan oleh Mbah Mangli, kala itu senantiasa dilaksanakan pada hari Kamis Wage, kata Ahsin (80), penduduk Mejing yang kerapkali menjadi panitia penyelenggara pengajian.

Acara selapanan itu bermula dari obsesi KH Khadis, yang ingin mengajak Mbah Mangli untuk melakukan syiar Islam di Mejing. Untuk itu, dia mengutus Ahsis dan kawan-kawan sowan ke Mbah Mangli.

Pengganti Usaha Ahsin tak membuahkan hasil. Kendati sempat menginap di sana, namun Ahsin tidak bisa bertemu dengan ulama kharismatik tersebut. Karenanya, KH Khadis terpaksa berangkat sendiri menjemput Mbah Mangli.

Langgar Linggan itu sendiri menjadi pengganti Masjid Jami Mejing, yang hanya sempat tiga kali digunakan sebagai pusat pengajian Mbah Mangli. Bukan apa-apa, pemindahan itu hanya dilandasi pertimbangan kenyamanan pengunjung. Masjid Jami posisinya persis di tepi jalan jurusan Magelang-Candimulyo.

Praktis selalu dilewati banyak kendaraan. Lalu lalang kendaraan itu tentu saja terasa mengganggu konsentrasi peserta pengajian. Menurut KH Kholil, Takmir Langgar Linggan, ketika Mbah Mangli wafat pada 1990, pengajian Kamis Wage di Mejing turut terhenti. Beberapa tahun belakangan, tradisi yang pernah mengakar di kalangan masyarakat itu mulai dirintis kembali oleh Gus Munir, menantu Mbah Mangli.





Mendoakan



Dengan arif, Mbah Mangli tidak melawan berbagai ancaman dan gangguan tersebut. Ia justru mendoakan mereka agar memeroleh kebahagiaan dan petunjuk dari Allah SWT. Keikhlasan, kesederhanaan dan ketokohan ini pula yang membawa Mbah Mangli dekat dengan mantan wapres Adam Malik dan tokoh-tokoh besar lainnya.

Suprihadi merupakan keturunan Haji Fadlan atau Puspowardoyo yakni tokoh Mangli yang membawa KH Hasan Asy’ari atau Mbah Mangli menetap di Dusun Mangli tahun 1956. Setelah mengasuh majelis taklim selama 3 tahun, Hasan Asy’ari kemudian menikah dengan Hj Ning Aliyah dari Sokaraja, Cilacap.

Pada 1959, Mbah Mangli mendirikan pondok pesantren salafiyah namun tidak memberikan nama resmi. Lambat laun pondok tersebut dikenal dengan nama Ponpes Mangli dan sosok Hasan Asy’ari dikenal masyarakat dengan nama Mbah Mangli. Nama ini diberikan masyarakat karena ia menyebarkan Islam dengan basis dari Kampung Mangli, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang.

Dusun Mangli terletak persis di lereng Gunung Andong. Dengan ketinggian 1.200 dpl, bisa jadi ponpes ini adalah yang tertinggi di Jawa Tengah. Dari teras masjid, para santri bisa melihat hamparan rumah-rumah di Kota Magelang dan Temanggung dengan jelas. Pemandangan lebih menarik terlihat pada malam hari di mana lautan lampu menghias malam.

Untuk ke lokasi ini, kita harus menempuh perjalanan sekitar 40 km dari ibu kota Kabupaten Magelang di Kota Mungkid.

Bangunan pondok yang berada di tengah-tengah perkampungan berdiri di atas lereng-lereng bukit sehingga dari kejauhan terlihat seperti bangunan bertingkat. Meski terpencil ribuan masyarakat setiap Minggu mengaji ke pondok tersebut. Mereka tidak hanya berasal dari sekitar Magelang namun juga berbagai daerah lain. Uniknya, santri yang menetap tidak pernah lebih dari 41 orang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar