BIOGRAFI KH
ABBAS ABDUL JAMIL
Sewaktu masih kecil, seumuran anak-anak yang suka telanjang
dan bermain layang-layang, Kyai Abbas setiap meminta uang jajan kepada
ayahandanya harus memenuhi syarat yang diberikan. Waktu itu Abbas kecil harus
membacakan nadzam Maqshud (riwayat lain Alfiyah) dengan hafalan
di hadapan ayahnya. Dengan segera Abbas kecil pun membacakannya dengan hafalan
di luar kepala, semuanya tanpa tersisa dan terlewat satu bait pun. Bercampur
heran dan takjub, akhirnya uang jajan pun selalu diberikan jika ia meminta.
Beberapa saat kemudian, Abbas kecil mengutarakan
keinginannya kepada sang ayah untuk mondok. Meski ayahnya sendiri adalah
seorang kyai yang alim dan mengajar ke para santri, orang Jawa menyebut itu
belum dikatakan mondok karena belajar kepada orangtuanya sendiri. Disebut
mondok jika ia belajar ke pesantren yang bukan milik orangtuanya. Begitupun
dengan Abbas kecil, punya keinginan yang besar untuk mesantren ke
pesantren-pesantren yang ada di Jawa, khususnya Jawa Barat.
Karena desakan yang besar dari anaknya, akhirnya KH. Abdul
Jamil mengabulkan: “Yawis lamon arep mondok, pamita Sira marang dulur ira
ning Masjid Agung Cirebon,” Ya sudah kalau kamu ingin mondok, mintalah
restu kepada kerabatmu yang ada di Masjid Agung Keraton Cirebon.
Dengan langkah tegap,
tatapan tajam ke depan, Abbas kecil berjalan kaki menyusuri rel kereta api
berangkat pagi dari rumahnya menuju Masjid Agung Cirebon. Hari itu adalah hari
Jum’at. Tepat pukul 12 siang kurang 10 menit, bedug masjid pun berbunyi bersamaan
dengan datangnya Abbas kecil.
Salah seorang habib, imam dan khathib Masjid Agung Cirebon,
pun berteriak: “Heh... sapa kunuh sing wani-wanine nabuh bedug, kurang 10
menit!” Siapa yang berani-beraninya menabuh bedug, padahal waktu masuk
shalat kurang 10 menit lagi!
Karena satu pun jamaah yang hadir tidak ada yang menjawab,
karena memang tidak ada yang merasa menabuh bedug, habib itu pun bertanya di
hadapan jamaah: “Siapa saja orangnya yang masuk masjid bersamaan dengan
bunyi bedug tadi, suruh dia menghadap saya.”
Para jamaah pun saling toleh, tidak ada yang merasa. Tapi
salah seorang dari mereka memberanikan diri untuk menjawab: “Maaf, Habib.
Ada satu orang yang dimaksud, tapi dia cuma anak kecil, kulitnya hitam, nampak
lusuh dan pakaiannya tidak rapi.”
“Bagen bocah cilik,” Biarin, meskipun anak kecil! Jawab sang habib.
Akhirnya Abbas kecil pun diminta menghadap sang habib, dan
ia ditanya: “Sira kuh sapa, saking endi?” Kamu itu siapa dan berasal
dari mana?
Dijawab dengan tegas ala anak kecil: “Ingsun Abbas,
putrane Dul Jamil Buntet.” Saya Abbas, putranya Abdul Jamil Buntet.
Langsung saja sang habib merangkulnya sembari menangis, dan
berkata: “Masya Allah, sira kuh arane Abbas, putrane Kyai Abdul Jamil
Buntet? Sedulur ingsun?!” Masya Allah, kamu Abbas putranya Kyai Abdul Jamil
Buntet? Masih kerabatku?!
Akhirnya Abbas kecil pun disuruh sang habib untuk naik
mimbar, dan berkhutbah. Meski kecil, ia sudah sangat fasih berbicara di hadapan
orang banyak. Berkhutbah dengan lancarnya bak khathib yang sudah sangat
berpengalaman.
Ternyata bedug masjid yang berbunyi sendiri itu, sebagai
pertanda dan penyambutan ada tamu orang yang besar, KH. Abbas bin KH. Abdul
Jamil Buntet. “Mungkin yang menabuh bedug dan menyambut itu adalah para
malaikat,” tutup pamandaku, Bapak Ridhwan salah satu santri Buntet
Pesantren, mengakhiri kisahnya.
KH. Abbas Abdul
Jamil adalah putra sulung dari pasangan KH.
Abdul Jamil dan Nyai Qari’ah. Kyai Abdul Jamil memiliki putra yang
berakhiran “AS”; Kyai Abbas, Kyai Anas, Kyai Ilyas dan Kyai Akyas. KH. Abbas
Abdul Jamil, atau orang lebih akrab menyebutnya Kyai Abbas Buntet, dilahirkan
pada hari Jum’at 24 Dzulhijah 1300 H/1879 atau 1883 M di Desa Pekalangan,
Cirebon dan wafat pada hari Ahad waktu Shubuh tanggal 1 Rabi’ul Awwal
1365 H/1946 M.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar